Seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam, lalu menyampaikan maksud kedatangannya. ”Aku berbai’at kepada engkau untuk hijrah dan jihad, yang karenanya aku hendak mencari pahala dari Allah.” Beliau bertanya; “Adakah salah seorang di antara kedua orangtuamu yang masih hidup?” Dia menjawab; “Ya, bahkan kedua-duanya masih hidup!” Rasulullah saw bersabda; “Benarkah engkau hendakmencari pahala dari Allah?” Dia menjawab; “Ya!” Beliau bersabda; “Kalau begitu, pulanglah kepada kedua orangtuamu dan hendaklah engkau mempergauli keduanya dengan baik.” (diriwayatkan Muslim).
Riwayat singkat di atas memaparkan kisah seorang lelaki yang dengan antusias menyatakan keinginannya kepada Rasulullah saw untuk berjihad di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Tapi di luar dugaan Rasul mulia menawarkan opsi jihad lain yang lebih utama pada lelaki tersebut, yakni mempergauli dan menjaga kedua orangtuanya dengan baik. Ini tentunya jangan kita asumsikan soal pilihan yang lebih utama di antara 2 kebaikan, berjihad di jalan Allah atau menjaga kedua orangtua. Seakan kisah itu mengesankan jihad di jalan Allah lebih kecil bobotnya dibanding dengan menjaga orangtua. Namun sesungguhnya Rasul mulia mengajarkan pada kita, betapa keduanya memiliki nilai jihad yang sama bobotnya. Betapa menjaga orangtua sama urgennya dengan jihad fisabilillah. Hanya saja, untuk si lelaki tersebut, Rasul mulia memerintahkannya agar ia lebih mendahulukan menjaga orangtuanya ketimbang berjihad (berperang) di jalan Allah. Ini masalah skala prioritas, yang Rasulullah tetapkan pada lelaki tersebut dalam situasi kondisi tertentu. Lepas dari pembahasan itu, inti pesan Rasulullah saw dalam riwayat di atas adalah, jangan sekali-kali kita menomorduakan, apalagi menomortigakan kepentingan orangtua dari masalah lainnya. Ini artinya jangan sampai kecintaan kita pada sesuatu, membuat kita lalai dalam berbakti pada ayah-ibu kita.
Termasuk dalam hal ini tentunya, janganlah kecintaan kita pada isteri kita misalnya, membuat kita tidak peduli dengan keadaan orangtua. Kita begitu care (peduli) dalam memenuhi keinginan-keinginan isteri, sementara ibu kita tak kita perhatikan keadaannya. Tidak peduli dengan perasaan ibu kita yang merasa sakit hati lantaran kita (putranya) lebih menumpahkan perhatian dan rasa cinta kita hanya untuk isteri kita. Na’udzubillah min dzalik. Mencintai isteri bukan sesuatu yang terlarang. Hanya saja rasa cinta kita pada isteri, tidak harus memupuskan perhatian dan rasa cinta kita pada orang yang telah melahirkan, merawat, dan menjaga kita hingga kita dewasa. Betapapun kepentingan ibu, tetap harus kita tempatkan dalam urutan pertama tatkala kita dihadapkan pada dua pilihan: Antara mendahulukan kepentingan isteri, dan kepentingan ibu. Kalaulah Rasul mulia memerintahkan kita untuk mendahulukan menjaga orangtua dibanding perang di jalan Allah, apatah lagi ketimbang keinginan isteri. Alangkah naif tentunya, bila lantaran paras isteri kita yang cantik misalnya, menimbulkan cinta berlebihan dan cenderung rasa takut kita pada isteri. Sehingga kita --sadar atau tidak akhirnya rela disetir (didominasi) oleh isteri. Bisa kita bayangkan bila ini terjadi pada diri kita, pasti akan rawan timbulnya konflik antara isteri dan ibu kita. Bila kondisi demikian berlangsung, biasanya orang cenderung akan lebih berpihak pada isteri ketimbang berpihak pada ibunya. Orangtua, khususnya ibu (kaum wanita), begitu sangat dimuliakan oleh Islam. Bukan hanya ia diabadikan sebagai salah satu nama surat di dalam Al Qur’an (An-Nissa), tapi di banyak haditsnya Rasululllah saw selalu memerintahkan kita untuk memuliakan mereka.Sebuah hadits menyebutkan, “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” Dalam riwayat masyhur lainnya disebutkan pertanyaan seorang sahabat kepada Nabi saw tentang orang yang paling layak dipergauli secara baik. Maka beliau saw menjawab tiga kali berturut-turut, pertama “ibu”, kedua “ibu”, ketiga “ibu”, dan baru keempat “ayah”. Ini menunjukkan tingkatan mendahulukan isteri berada di urutan ke-5, setelah mendahulukan kepentingan ibu (3 x) dan ayah (1 x). Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata; “Ada seorang lelaki menemui Rasulullah saw seraya berkata; ”Aku ingin sekali ikut berjihad, namun aku tidak mampu.” Beliau bertanya; “Adakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab; “Ibuku!” Beliau saw bersabda; “Menghadaplah kepada Allah dengan cara berbuat baik kepada ibumu. Jika engkau melakukannya, engkau sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah, serta berjihad.” (diriwayatkan Abu Ya’la dan Ath-Thabrany). Betapa penting dan utamanya kedudukan ibu sebagai kunci untuk menggapai ridho Allah ‘Azza wa Jalla, tentu harus diketahui oleh pasangan suami-istri (pasutri). Suami yang baik seyogyanya mengajarkan dan mendidik isterinya untuk memahami perihal ini. Agar sikap pasutri mendahulukan kepentingan orangtua masing-masing, tidak menimbulkan salah pengertian dari pasangannya. Selain tentunya, visi dan sikap pasutri yang sejalan dalam memperlakukan orangtua masing-masing, menjadi amat penting dan krusial dalammerajut kehidupan keluarga yang harmonis (sakinah).
Sungguh tak ada gunanya rumah mewah, isteri cantik, dan harta melimpah, bila ubungan kita dengan ibu kandung kita hambar. Apalagi bila ibu kita tidak ridho terhadap kehidupan rumah tangga kita, lantaran kita terlalu didominasi oleh isteri misalnya. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi pada kehidupan rumah tangga kita. Sebab ridho ibu adalah ridho Allah SWT. Sebaliknya murkanya ibu, adalah murkanya Allah ‘Azza wa Jalla. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda; ”Keridhoan Robb Ta’ala berada dalam keridhoan kedua orangtua. Kemurkaan Allah Tabaraka wa Ta’ala ada dalam kemurkaan kedua orangtua. (diriwayatkan Al-Bazzar) Ayo, benahi rumah tangga kita, perbaikilah silaturahim kita dengan orangtua kita, agar rumah tangga kita berkah dan diridhoi Allah SWT. Eramuslim - (sulthoni)
Jumat, Juli 18, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar