Kamis, Juli 24, 2008

Tujuh Kalimat Mulia

Sumber: Durratun Nashihin

Al-Faqih Abul Laits berkata: “Barangsiapa memelihara tujuh kalimat, maka dia menjadi orang yang mulia di sisi Allah T&ala dan para malaikat, dan Allah mengampuni dosa-dosanya, meskipun seperti buih di laut, dan dia akan merasakan manisnya ketaatan, sedang hidup dan matinya akan lebih baik.

Pertama, ketika memulai segala sesuatu hendaklah mengucapkan Bismillah. Kedua, setelah usai dan apa saja, mengucapkan alHamdulillah. Ketiga, apabila lidahnya terlanjur mengatakan sesuatu yang tiada berguna, maka mengucapkan Astaghfirullah. Keempat, apabila hendak melakukan suatu pekerjaan besok, maka mengucapkan Insya ‘allah. Kelima, apabila menghadapi pekerjaan yang tidak diinginkan, maka mengucapkan La haula wala quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Azhim. Keenam, apabila terkena suatu musibah, maka mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dan, ketujuh, senantiasa mengalir pada lidahnya siang dan malam kalimat La illaha illallahu, Muhamadur Rasulullah.”(imm)

Rabu, Juli 23, 2008

Gerbong Keampunan

Perlahan laju kereta mulai berhenti di Stasiun Depok Baru, para penumpang yang sudah berjejal di dalam gerbong kereta ekonomi Bogor-Jakarta harus sedikit menahan tubuhnya agar tidak terjatuh saat kereta itu mengerem. Sementara suhu di dalam kereta semakin panas dibumbui aroma yang terkadang kurang sedap oleh peluh tumpukan manusia didalamnya, belasan orang harus bergelantungan di pintu kereta bahkan puluhan laki-laki lainnya terpaksa menaiki atap kereta dengan resiko terpanggang 15.000 Volt listrik yang mengalir tidak lebih dan setengah meter diatas kepala mereka.

Saat kereta berhenti tidak terlalu lama, hanya beberapa menit saja ratusan orang sudah menunggu dan siap menyerbu masuk ke dalam gerbong. Bruk, bruk, bruk ... tiga-empat-lima orang masuk dengan sekuat tenaga mencoba menerobos orang-orang yang berdiri di pintu. Bagi mereka yang tidak terangkut, harus rela menunggu kereta selanjutnya kira-kira 15-20 menit kedepan, itu pun dengan catatan jika tidak ada masalah keterlambatan atau kereta mogok. Setelah dengan selamat masuk di dalam gerbong, bukan berarti tidak ada masalah. Aroma berbagai peluh ratusan manusia dalam gerbong yang penuh sesak dan berjejal, suasana panas akibat sedikitnya pembagian udara dalam gerbong, baju yang lusuh dan lecek, sepatu yang kotor terinjak-injak, kemungkinan jatuh karena terdorong kesana kemari, sampai tangan-tangan jahil pelecehan seksual maupun penguntit barang alias copet. Bila tidak sanggup menerima semua kemungkinan yang hampir pasti dialami oleh setiap penumpang kereta ekonomi itu, ia pasti akan memilih keluar meninggalkan gerbong saat kereta berhenti pada stasiun berikutnya, itupun masih butuh perjuangan untuk bisa keluar dan gerbong.

Terkadang semua kesulitan dan tantangan dengan berbagai resiko yang bakal menghampirinya harus ditempuh setiap manusia untuk mencapai semua yang ditujunya, untuk menggapai segala apa yang hendak diraihnya, untuk merengkuh cita-cita dan harapannya. Tidak peduli kepala menjadi kaki dan kaki menjadi kepala, tidak hanya peluh bahkan darahpun rela dikucurkannya, tak peduli pula seberapa banyak pengorbanan yang harus dilakukannya.

Saudaraku, tentu gerbong keampunan Allah jauh lebih besar dan lebih luas. Ia juga tidak hanya datang setiap 15-20 menit sekali, bahkan gerbong-gerbong keampunan itu selalu hadir setiap detik setiap waktu kapanpun manusia mau. Tidak perlu berdesak dan berjejal memburu gerbong itu, meski memang harus bersegera untuk memasuki gerbongnya, namun tidak perlu takut untuk tidak mendapatkan tempat didalamnya karena selain pintunya begitu banyak dan terbuka lebar, gerbong itupun begitu luas seluas langit dan bumi. Namun demikian, bukan berarti ketika sudah berada didalamnya cobaan, gangguan dan tantangan tidak mengintip untuk menguji kesabaran untuk tetap berada didalamnya. Tentu saja tetap ada peluh dan kepahitan dalam mengarungi perjalanan menuju keampunan-Nya untuk melihat siapa-siapa yang tetap teguh mengikuti jalan-Nya. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dan Tuhanmu dan kepada syurga yang Iuasnya seluas Ian git dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imran:133) Wallahu a’Iam bishshowab (Bayu Gautama)

Senin, Juli 21, 2008

Duh Tamaknya Kita

Seketika dada ini berdegub kencang saat mengetahui salah seorang saudara kita memperoleh kesuksesan, dan kita merasa bahwa ia telah mengungguli kita. Kemudian kekhawatiran membuncah dan dalam hati bahwa saudara yang telah mendapatkan kesuksesannya itu akan bersikap sombong kepada kita sementara kita sendiri hanya bersungut-sungut tidak bisa mengunggulinya. Jiwa ini tidak kuasa menanggung kesombongan dan kebanggaan saudara kita itu, sebab kita hanya bisa menerima kesejajaran dengan orang lain namun tidak bisa menerima jika orang lain mengungguli kita. Bahkan mungkin, kita bersumpah agar orang itu kehilangan nikmatnya hingga tetap sama dengan kita yang tidak mendapat nikmat. duh Saudaraku, tamak sekali kita

Saudaraku, jika demikian, sungguh kita tak bedanya dengan saudara-saudara Yusuf alaihi salam kecuali Bunyamin yang merasa ayah mereka tidak lebih mencintai mereka. Sehingga mereka harus menyingkirkan Yusuf agar kemudian cinta dan perhatian ayah mereka tertumpah kepada mereka saja.

Kita sering merasa lebih cantik, lebih tampan, lebih memiliki segalanya, sehingga yang tergambar dalam hati dan kebanggaan akan diri itu adalah bahwa harus selalu kita yang lebih dulu mendapatkan segala kenikmatan. Sakit dada ini rasa benci mencuat terhadap orang lain yang mendahului. Misalnya, ada saudara yang mendapatkan nikmat dan Allah berupa suami yang sholeh, tampan dengan segala kelebihan lainnya, kita merasa bahwa seharusnya kitalah yang lebih berhak mendapatkannya, bukan dia. Atau setidaknya kita berharap agar kita juga mendapatkan yang serupa agar saudara kita itu tidak mengungguli kita. Namun ketika Allah belum juga memberikan karena hendak menguji kesabaran hambanya, kita marah dan kesal. duh Saudaraku, tamaknya kita Padahal saudaraku, Allah telah memberikan peringatan-Nya bahwa, “Dan janganlah kamu ini terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dan sebagian yang lain.” (An Nisa:32). Masihkan kita terus merasa gundah dan tersiksa jika saudara kita mendapatkan kenikmatanNya?

Di pertiga malam, mata ini begitu sembab dengan linangan air mata harap akan ampunan Allah. Dalam setiap do’a, tercukil keinginan agar Allah melimpahkan rezeki dan nikmat-Nya kepada kita. Namun, ketika Allah menguji kesabaran kita dengan menunda rezeki itu, kita marah, putus asa, bahkan berpikir bahwa Allah tidak mendengar do’a dan permintaan kita. duh Saudaraku, betapa tamaknya kita.

Kita tahu bahwa hidup tidak mungkin tanpa cobaan, kita begitu mengerti bahwa sebagai orang beriman tentu harus diuji keberimanan ini. Bahkan kita juga memahami bahwa Allah tidak akan memberikan beban, ujian, amanah di luar batas kemampuan makhluk-Nya. Namun betapa sering kita mengeluh, menangis, merasa keberatan dengan semua ujian hidup ini. Kita juga merasa putus asa karena Allah belum juga mengakhiri cobaan dan penderitaan hidup ini. Lalu kita merasa bahwa hanya kita yang mendapatkan ujian begitu berat. duh Saudaraku, begitu tamakkah kita Tahukah saudaraku, bahwa dengan begitu berarti kita telah membenci ketentuan (qadha’) Allah, tidak suka kepada nikmat-Nya yang telah dibagikan di antara para hamba-Nya, dan tidak mau menerima keadilanNya yang ditegakkan-Nya dalam kerajaan-Nya dengan kebijaksanaan-Nya yang tersembunyi bagi kita, kemudian kita mengingkari dan menganggap buruk hal tersebut. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Sabtu, Juli 19, 2008

Menikmati Sakit

Sungguh mulia, di saat kita sakit (pisik atau psikis) ringan atau berat kita masih pandai bersyukur kepada A’lah sebagaimana kita saat sehat. Tak jarang tatkala kita sakit justru ibadah, kerja dan upaya kita membantu orang lain menurun. Berbarengan dengan itu pula, kita jadi pemalas, pemarah dan lupa berdzikir kepada-Nya. Di saat inilah sebenarnya iman dan Islam kita diuji Allah. Apakah tatkala sakit kita masih menjadi orang yang sayang kepada istri, anak, tetangga, sahabat kita? Apakah ketika sakit kita tetap mampu beribadah dan bekerja sebagaimana kita sehat? Sakit sebenarnya sesuatu yang biasa, alamiah. Karena itu tak perlu ditakuti dan dicemaskan. Justru ketika sakit datang, kita harus menyambutnya dengan rasa suka cita. Lewat sakitlah Allah Sang Pencipta sakit berkehendak mendidik kita untuk jadi orang yang lemah lembut, peduli dengan yang lain, banyak berdzikir, hidup sederhana dan selalu slap dengan sakaratul maut.

Allah Swt. sendiri sangat mencintai terhadap hambahamba-Nya yang selalu sabar dan tabah dalam derita dan sengsara. Karena mereka yang berani mengalami penderitaan dan kesengasaraan hidup berarti mereka telah siap berjuang dengan sesungguhnya. Banyak kisah indah yang perlu kita teladani dalam hidup ini ketika mengahadapi derita. Bukankah para Nabi Allah hidup penuh dengan derita pisik dan psikis (mental)? Bukankah mereka yang paling dahsyat mendapat intimidasi dan kaumnya sendiri? Nabi Nuh As dicerca, dicemooh kaumnya, Nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrud dan diusir ayahnya, Azar dan Nabi Muhammad Saw dilempari kotoran, dicerca, dihina diusir kaumnya? Alangkah agungnya para kekasih Allah itu. Kendati mereka mengalami cercaan, hinaan hidup, mereka tetap menjadi manusia yang mulia; bersabar, tetap banyak ibadah, dan selalu berdzikir kepada Allah. Rasulullah Saw. telah memberi kabar gembira bagi mereka yang tetap sabar dan tabah saat ditimpa sakit, musibah ataupun derita lainnya. Bagi mereka adalah ampunan dari-Nya atas dosa-dosa yang dilakukannya. ?Tidaklah musibah, penyakit, kesengsaraan, kesedihan dan rasa sakit menimpa seorang muslim, bahkan Sam pal dun yang menusuknya, melainkan dengannya Allah akan men gampuni kesalahan-kesalahannya.? Demikian pesan Nabi mulia itu diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim.

Dalam al-Quran, Allah menggambarkan orang-orang yang bersabar dengan penderitaan sebagai hamba-hambaNya yang memperoleh kebajikan. Mereka inilah orang-orang yang benar imanya (karena telah teruji) dan mereka inilah kelompok muttaqieri yang sesungguhnya (QS. Al- Baqarah: 177) (Syaifuddin)

Jumat, Juli 18, 2008

Isteri Disayang, Jangan Ibu Dibuang

Seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam, lalu menyampaikan maksud kedatangannya. ”Aku berbai’at kepada engkau untuk hijrah dan jihad, yang karenanya aku hendak mencari pahala dari Allah.” Beliau bertanya; “Adakah salah seorang di antara kedua orangtuamu yang masih hidup?” Dia menjawab; “Ya, bahkan kedua-duanya masih hidup!” Rasulullah saw bersabda; “Benarkah engkau hendakmencari pahala dari Allah?” Dia menjawab; “Ya!” Beliau bersabda; “Kalau begitu, pulanglah kepada kedua orangtuamu dan hendaklah engkau mempergauli keduanya dengan baik.” (diriwayatkan Muslim).

Riwayat singkat di atas memaparkan kisah seorang lelaki yang dengan antusias menyatakan keinginannya kepada Rasulullah saw untuk berjihad di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Tapi di luar dugaan Rasul mulia menawarkan opsi jihad lain yang lebih utama pada lelaki tersebut, yakni mempergauli dan menjaga kedua orangtuanya dengan baik. Ini tentunya jangan kita asumsikan soal pilihan yang lebih utama di antara 2 kebaikan, berjihad di jalan Allah atau menjaga kedua orangtua. Seakan kisah itu mengesankan jihad di jalan Allah lebih kecil bobotnya dibanding dengan menjaga orangtua. Namun sesungguhnya Rasul mulia mengajarkan pada kita, betapa keduanya memiliki nilai jihad yang sama bobotnya. Betapa menjaga orangtua sama urgennya dengan jihad fisabilillah. Hanya saja, untuk si lelaki tersebut, Rasul mulia memerintahkannya agar ia lebih mendahulukan menjaga orangtuanya ketimbang berjihad (berperang) di jalan Allah. Ini masalah skala prioritas, yang Rasulullah tetapkan pada lelaki tersebut dalam situasi kondisi tertentu. Lepas dari pembahasan itu, inti pesan Rasulullah saw dalam riwayat di atas adalah, jangan sekali-kali kita menomorduakan, apalagi menomortigakan kepentingan orangtua dari masalah lainnya. Ini artinya jangan sampai kecintaan kita pada sesuatu, membuat kita lalai dalam berbakti pada ayah-ibu kita.

Termasuk dalam hal ini tentunya, janganlah kecintaan kita pada isteri kita misalnya, membuat kita tidak peduli dengan keadaan orangtua. Kita begitu care (peduli) dalam memenuhi keinginan-keinginan isteri, sementara ibu kita tak kita perhatikan keadaannya. Tidak peduli dengan perasaan ibu kita yang merasa sakit hati lantaran kita (putranya) lebih menumpahkan perhatian dan rasa cinta kita hanya untuk isteri kita. Na’udzubillah min dzalik. Mencintai isteri bukan sesuatu yang terlarang. Hanya saja rasa cinta kita pada isteri, tidak harus memupuskan perhatian dan rasa cinta kita pada orang yang telah melahirkan, merawat, dan menjaga kita hingga kita dewasa. Betapapun kepentingan ibu, tetap harus kita tempatkan dalam urutan pertama tatkala kita dihadapkan pada dua pilihan: Antara mendahulukan kepentingan isteri, dan kepentingan ibu. Kalaulah Rasul mulia memerintahkan kita untuk mendahulukan menjaga orangtua dibanding perang di jalan Allah, apatah lagi ketimbang keinginan isteri. Alangkah naif tentunya, bila lantaran paras isteri kita yang cantik misalnya, menimbulkan cinta berlebihan dan cenderung rasa takut kita pada isteri. Sehingga kita --sadar atau tidak akhirnya rela disetir (didominasi) oleh isteri. Bisa kita bayangkan bila ini terjadi pada diri kita, pasti akan rawan timbulnya konflik antara isteri dan ibu kita. Bila kondisi demikian berlangsung, biasanya orang cenderung akan lebih berpihak pada isteri ketimbang berpihak pada ibunya. Orangtua, khususnya ibu (kaum wanita), begitu sangat dimuliakan oleh Islam. Bukan hanya ia diabadikan sebagai salah satu nama surat di dalam Al Qur’an (An-Nissa), tapi di banyak haditsnya Rasululllah saw selalu memerintahkan kita untuk memuliakan mereka.Sebuah hadits menyebutkan, “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” Dalam riwayat masyhur lainnya disebutkan pertanyaan seorang sahabat kepada Nabi saw tentang orang yang paling layak dipergauli secara baik. Maka beliau saw menjawab tiga kali berturut-turut, pertama “ibu”, kedua “ibu”, ketiga “ibu”, dan baru keempat “ayah”. Ini menunjukkan tingkatan mendahulukan isteri berada di urutan ke-5, setelah mendahulukan kepentingan ibu (3 x) dan ayah (1 x). Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata; “Ada seorang lelaki menemui Rasulullah saw seraya berkata; ”Aku ingin sekali ikut berjihad, namun aku tidak mampu.” Beliau bertanya; “Adakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab; “Ibuku!” Beliau saw bersabda; “Menghadaplah kepada Allah dengan cara berbuat baik kepada ibumu. Jika engkau melakukannya, engkau sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah, serta berjihad.” (diriwayatkan Abu Ya’la dan Ath-Thabrany). Betapa penting dan utamanya kedudukan ibu sebagai kunci untuk menggapai ridho Allah ‘Azza wa Jalla, tentu harus diketahui oleh pasangan suami-istri (pasutri). Suami yang baik seyogyanya mengajarkan dan mendidik isterinya untuk memahami perihal ini. Agar sikap pasutri mendahulukan kepentingan orangtua masing-masing, tidak menimbulkan salah pengertian dari pasangannya. Selain tentunya, visi dan sikap pasutri yang sejalan dalam memperlakukan orangtua masing-masing, menjadi amat penting dan krusial dalammerajut kehidupan keluarga yang harmonis (sakinah).

Sungguh tak ada gunanya rumah mewah, isteri cantik, dan harta melimpah, bila ubungan kita dengan ibu kandung kita hambar. Apalagi bila ibu kita tidak ridho terhadap kehidupan rumah tangga kita, lantaran kita terlalu didominasi oleh isteri misalnya. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi pada kehidupan rumah tangga kita. Sebab ridho ibu adalah ridho Allah SWT. Sebaliknya murkanya ibu, adalah murkanya Allah ‘Azza wa Jalla. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda; ”Keridhoan Robb Ta’ala berada dalam keridhoan kedua orangtua. Kemurkaan Allah Tabaraka wa Ta’ala ada dalam kemurkaan kedua orangtua. (diriwayatkan Al-Bazzar) Ayo, benahi rumah tangga kita, perbaikilah silaturahim kita dengan orangtua kita, agar rumah tangga kita berkah dan diridhoi Allah SWT. Eramuslim - (sulthoni)

Kamis, Juli 17, 2008

Empat Perkara Sebelum Tidur

Rasulullah berpesan kepada Aisyah ra: “Ya Aisyah, jangan engkau tidur sebelum melakukan empat perkara. Yakni: Sebelum khatam Al Qu?an, sebelum membuat para nabi memberimu syafaat di hari akhir, sebelum para muslim meridloi karnu, sebelum kaulaksanakan haji dan umrah.” -

“Bertanya istri Nabi saw Aisyah: “Ya Rasulullah, bagaimana aku dapat melaksanakan empat perkara seketika?”

Rasul tersenyum dan bersabda: “Jika engkau tidur bacalah Al Ikhlas tiga kali seakan-akan kau mengkhatarnkan Al Qur’an. Bacalah shalawat untukku dan para nabi sebelum aku, maka kami semua akan memberi syafaat di hari kiamat. Beristighfarlah untuk para muslimin maka mereka akan meridloi kamu. Dan, perbanyaklah bertasbih, bertabmid, bertahlil, bertakbir maka seakan-akan kamu telah melaksanakan ibadah haji dan umrah.”
Wallahu ‘alam...

Rabu, Juli 16, 2008

Nabi Melarang Ghibah

Penulis: Imam Suyono

“Ghibah ialah engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara yang ia tidak suka,” demikian sabda Nabi saw. Penjelasan tersebut disampaikan beliau pada suatu kesempatan tanya jawab dengan para shabatnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah ra.

Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?”

Shahabat-shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih rnengetahui.”

Beliau bersabda: “Ghibah ialah engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara yang ia tidak suka.”

Seorang shahabat bertanya: “Bagaimana kalau pada saudaraku itu memang sebagaimana yang saya katakan?”

Nabi menjawab: “Kalau padanya memang ada sebagaimana yang engkau katakan, sungguh engkau telah mengumpat dia; dan kalau padanya tidak seperti yang engkau katakan, sungguh engkau telah berdosa. (HR. Muslim).

Dengan demikian tiadalah berguna mempergunjingkan keburukan orang lain, bahkan bila keburukan tersebut nyata-nyata ada padanya. Apalagi di bulan Ramadhan yang mulia in perilaku demikian bisa menyebabkan puasa kita sia-sia, karena tidak dibalas dengan pahala oleh Allah swt, kecuali mendapatkan lapar dan dahaga saja. Wallahu ‘alarn.

Selasa, Juli 15, 2008

Kembali Kepada Kesucian

Penulis: Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)

Hikam:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan mausia tidak mengetahuinya.” (QS. ArRuum: 30)

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap yang dilahirkan dalam keadaan suci.”

Kita dilahirkan kedunia dalam keadaan fitrah tidak dibebani dosa sebesar apapun dan Allah. Itu memberikan kita potensi untuk berbuat baik dan buruk. Diantara fitrah Allah yaitu kita butuh menuhankan sesuatu dan bagi yang benar maka dia berhasil menuhankan Allah. Namun adapula yang salah dalam bertuhan misalnya menuhankan kekuasaan. harta dan kedudukan.

Sebenarnya kekuasaan, harta dan kedudukan adalah karunia dan Allah yang dititipkan kepada kita. Orang yang kembali kepada fitrah adalah orang yang kembali menuhankan Allah, karena setiap kita menuhankan sesuatu selain Allah kita akan diperbudak oleh yang kita tuhankan dan kita akan menjadi sangat hina. Jadi bulan ramadhan ini hendaklah kitajadikan dunia hanya sebagai tempat singgah, bukan tujuan untuk kita sembah karena kita akan kembali kepada Allah swt.

Kemudian adalagi fitrah Allah yaitu kita membutuhkan tuntunan dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Rasulullah saw. Maka bagi yang ramadhannya berhasil dia ingin lebih mengetahui tentang rasul, mensuritauladani dan hidup seperti yang dituntunkan rasul. Semakin kita yakin bahwa semua yang kita dapat datangnya dan Allah maka kita akan menjadi sabar, ikhlas, tawadhu dan menikmati hidup dengan hati yang bersih.

Hendaklah diakhir bulan ramadhan kita bersyukur kepada Allah karena sudah dapat menjalani bulan ramadhan, memperbanyak takbir, tabmid dan sambil memohon kepada Allah agar dapat dipertemukan kembali pada bulan ramadhan yang akan datang. Makin kurang ilmu yang kita miliki makin mudah goyah keimanan kita dan makin banyak ilmu yang kita miliki makin kokoh kita dalam menghadapi hidup ini. (imm)

Sabtu, Juli 12, 2008

Mengenang Lelaki Tua, Ayahku

Oleh RB Thamrin

Malam itu saya berjalan pulang dariMasjid Pusdai Bandung. Di depan Gedung Sate, mata saya tertuju pada sesosok tubuh yang sedang tertidur di trotoar jalan. Saya amati agak lama, ternyata sosok itu adalah seorang pria tua. Dari penampilannya saya yakin ia adalah seorang gelandangan.

Saat itu terlintas pertanyaan di benak saya. Di manakah anak-anak dari bapak tua ini? Mengapa seorang bapak tua harus tidur kedinginan di pinggir jalan? Tidakkah ia mempunyai anak atau keluarga? Bukankah sudah kewajiban anak-anak untuk memelihara orang tuanya? Apakah pantas seorang ayah yang telah bersimbah keringat, darah dan air mata, berkorban untuk anak memperoleh balasan tidur di pinggir jalan di usia senja?

Teringat sebuah cerita. Ada seorang lelaki yang hidup bahagia dengan anak, isteri, dan ayah kandungnya. Suatu hari banjir hebat melanda kampung mereka. Ketika semua orang sibuk menyelamatkan diri, si lelaki beruntung mendapatkan sebatang kayu. Kayu ini tidak terlalu besar hanya cukup untuk 2 orang. Ia berfikir saat itu, siapa satu orang lagi yang harus ia angkut dengan kayu itu. Akhirnya Ia putuskan untuk membawa ayah kandungya, dengan resiko isteri dan anaknya terbawa banjir yang semakin membesar. Ketika ditanya apa alasan beliau memilih ayah kandungnya, bukan anak atau isteri. Ia menjawab, bahwa Insya Allah jika saya kehilangan anak dan isteri, Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Tapi seorang ayah kandung, saya hanya mendapat satu kali seumur hidup.

Masya Allah. Pikiran saya segera melayang ke rumah. Teringat ayah saya yang sedang duduk di kursi roda, menahan sakit stroke yang telah diderita 3 tahun terakhir. Saya harus segera pindahkan ke atas tempat tidurnya. Kaki ini dipaksa untuk semakin cepat melangkah, mencari kendaraan umum yang selalu saja penuh.

Catatan:
Sebuah permohonan maaf untukmu ayah. Lama kita tidak berbicara, entah kesibukan apa yang membatasi kita. Sampai akhirnya Allah memisahkan, dan kita tidak dapat saling bicara untuk selamanya. Kuharap Allah mempertemukan kita di surganya kelak. Amiin.

Kamis, Juli 10, 2008

Umur Yang Mencair Seperti Es


Cepat sekali waktu berlalu. Mengalir tak pernah berhenti. Jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik, bergerak. Waktu tak dapat ditunda, tak dapat ditahan dan tak mungkin ada yang mampu mengulang. Itu artinya, usia kita pun berkurang. Kita... semakin dekat ke liang lahat. Saudaraku, entah, apakah pertambahan dan perguliran waktu itu, berarti mendekatkan din kita pada kenikmatan surga. Atau mendekatkan kita pada kesengseraan neraka. Nauzubillah....

Rasul SAW, Menyifatkan cepatnya perjalanan waktu kehidupan seperti perjalanan seorang musafir yang hanya sejenak berhenti di bawah pohon di tengah perjalanan yang amat panjang. Para ulama juga banyak menguraikan ilustrasi tentang hidup yang amat singkat ini. “Umurmu akan mencair seperti mencairnya es,” kata Imam Ibnul Jauzi. (Luthfu fil Wa’z, 31) Saudaraku, sahabatku, Semoga Allah memberkahi sisa usia kita, Permasalah terbesar setiap orang adalah ketika kecepatan umur dan waktu hidupnya tidak seiring dengan kecepatannya untuk menyelamatkan din dan penderitaan abadi di akhirat. Ketika, usia yang sangat terbatas itu tidak berfungsi sebagai pelindung din dan beratnya adzab dan siksa Allah swt. Di saat, banyaknya hembusan dan tarikan nafasnya tak sebanding dengan upaya dan jihadnya untuk terhindar dan lubang kemurkaan Allah. Ketika, jumlah detak jantung dan aliran darah yang di pompa di dalam tubuhnya, tak sebanyak gerak dan tingkahnya untuk menjauhi berbagai kemaksiatan yang dapat memunculkan kesengsaraan akhirat.

Saudaraku,
Sesungguhnya jiwa kita adalah milik Allah dan kepadaNya lah jiwa ini akan kembali....
Suasana hati seperti inilah yang perlu kita tumbuhkan. Adakajh di antara kita yang tidak mempunyai dosa? Atau merasa mampu menebus kotoran dan dosa yang telah dilakukan selama puluhan tahun usia yang telah lewat? Tentu tidak. Perasaan kurang, merasa banyak melakukan kemaksiatan, lalu menimbulkan penyesalan adalah bagian dan pintu-pintu rahmat Allah yang akan mengantarkan kita pada taubat. Suasana hati seperti inilah yang akan mendorogn pemilikinya bertekad mengisi hari dengan amal yang lebih untuk menebus kesalahan yang lalu.

Saudaraku, mari menangguk pahala, meraih rahmat dan ampunan Allah sebanyak-banyaknya sekarang juga. Perbanyaklah dzikir bersedekah, berjihad dan beramal shalih Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan. Sekarang dan jangan tunda-tunda lagi niat baik kita.... Semoga Allah meneguhkan kekuatan kita untuk melakukan kebaikan yang kita niatkan... Amiiin.(Dikutip dan Majalah Tarbawi edisi 27 th. 3)

Rabu, Juli 09, 2008

Akhlak Kepada Tetangga
Penulis: Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)

Beruntunglah bagi orang yang hidup bertetangga dengan orang yang berahlak baik, insya Allah walaupun rumah sempit kalau tetangganya baik menjadi lapang. Alangkah ruginya bagi orang yang hidupnya dikelilingi orang yang tidak berahiak baik, walaupun rumah lapang menjadi sempit.

Hikam:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.

Rasulullah bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan han akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Muslim)

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk berbuat baik kepada kita, tetapi kita bisa memaksa diri kita untuk berbuat baik kepada orang lain. Kita tidak bisa mengharapkan tetangga sama dengan kita, karena adanya perbedaan bisa memperindah ahlak kita. Hak tetangga adalah bila dia sakit dikunjungi, bila wafat dihantarkan jenazahnya, bila dia mengalami kesulitan dibantu, aibnya dirahasiakan atau ditutupi, bila mengalami kebaikan kita mengucapkan turut bersuka cita, bila mengalami musibah kita ucapkan turut berduka cita, dan jangan halangi rumahnya dengan dinding, hingga angin tidak bisa masuk kedalam rumahnya. Dan jangan mengganggu dengan bau masakan kecuali kamu memberinya.

Alat ukur ibadah, bukan hanya pada waktu shalatnya saja, tetapi pada kehidupan sehari-hari, sesudah dan sebelum sholat. Kehidupan bertetangga harus dikemas menjadi ladang amal kita. Kedengkian kita kepada tetangga tidak akan mempengaruhi rizki tetangga, sebab yang membagikan rizki adalah Allah. Tidak termasuk orang yang beriman, jika perut kita kenyang sedangkan perut tetangga lapar. Semakin sayang tetangga kepada kita semakin bahagia hidup kita, jangan benci terhadap tetangga dan jangan menunggu apa yang diperbuat tetangga tetapi berbuatlah sesuatu untuk tetangga.

Selasa, Juli 08, 2008

Hinanya Dunia

Sumber: Riyadhus Shalihin

Sungguh dunia amat mengecoh. Ia sama sekali tiada harganya bila dibandingkan dengan akhirat. Bersabda Rasulullah saw: “Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seorang yang memasukkan jarinya ke dalam lautan luas, maka perhatikanlah berapa dapatnya.” (HR. Muslim)

Tentang kehinaan dunia, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, mengisahkan sebagai berikut. Rasulullah berjalan di pasar dan dikelilingi orang-orang, mendadak di sana ditemukan bangkai kambing yang kecil telinganya, maka Rasulullah mengangkat telinganya dan berkata: “Siapakah yang suka membeli ini dengan sedirham?”

Jawab mereka: “Tiada yang suka itu, dan buat apakah itu?”
Nabi bertanya: “Sukakah kalau ini diberikan kepadamu Cuma-Cuma?’

Jawab mereka: “Demi Allah, andaikan itu masih hidup, iapun cacat, apalagi ia sudah jadi bangkai.”
Maka, sabda Nabi: “Demi Allah, sesungguhnya dunia ini lebih hina dalam pandangan Allah, dan bangkai ini bagimu.”

“Dan tiadalah kehidupan dunia in melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui,” demikian firman-Nya. (QS. A1-Ankabuut: 64) (1mm)