Seketika dada ini berdegub kencang saat mengetahui salah seorang saudara kita memperoleh kesuksesan, dan kita merasa bahwa ia telah mengungguli kita. Kemudian kekhawatiran membuncah dan dalam hati bahwa saudara yang telah mendapatkan kesuksesannya itu akan bersikap sombong kepada kita sementara kita sendiri hanya bersungut-sungut tidak bisa mengunggulinya. Jiwa ini tidak kuasa menanggung kesombongan dan kebanggaan saudara kita itu, sebab kita hanya bisa menerima kesejajaran dengan orang lain namun tidak bisa menerima jika orang lain mengungguli kita. Bahkan mungkin, kita bersumpah agar orang itu kehilangan nikmatnya hingga tetap sama dengan kita yang tidak mendapat nikmat. duh Saudaraku, tamak sekali kita
Saudaraku, jika demikian, sungguh kita tak bedanya dengan saudara-saudara Yusuf alaihi salam kecuali Bunyamin yang merasa ayah mereka tidak lebih mencintai mereka. Sehingga mereka harus menyingkirkan Yusuf agar kemudian cinta dan perhatian ayah mereka tertumpah kepada mereka saja.
Kita sering merasa lebih cantik, lebih tampan, lebih memiliki segalanya, sehingga yang tergambar dalam hati dan kebanggaan akan diri itu adalah bahwa harus selalu kita yang lebih dulu mendapatkan segala kenikmatan. Sakit dada ini rasa benci mencuat terhadap orang lain yang mendahului. Misalnya, ada saudara yang mendapatkan nikmat dan Allah berupa suami yang sholeh, tampan dengan segala kelebihan lainnya, kita merasa bahwa seharusnya kitalah yang lebih berhak mendapatkannya, bukan dia. Atau setidaknya kita berharap agar kita juga mendapatkan yang serupa agar saudara kita itu tidak mengungguli kita. Namun ketika Allah belum juga memberikan karena hendak menguji kesabaran hambanya, kita marah dan kesal. duh Saudaraku, tamaknya kita Padahal saudaraku, Allah telah memberikan peringatan-Nya bahwa, “Dan janganlah kamu ini terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dan sebagian yang lain.” (An Nisa:32). Masihkan kita terus merasa gundah dan tersiksa jika saudara kita mendapatkan kenikmatanNya?
Di pertiga malam, mata ini begitu sembab dengan linangan air mata harap akan ampunan Allah. Dalam setiap do’a, tercukil keinginan agar Allah melimpahkan rezeki dan nikmat-Nya kepada kita. Namun, ketika Allah menguji kesabaran kita dengan menunda rezeki itu, kita marah, putus asa, bahkan berpikir bahwa Allah tidak mendengar do’a dan permintaan kita. duh Saudaraku, betapa tamaknya kita.
Kita tahu bahwa hidup tidak mungkin tanpa cobaan, kita begitu mengerti bahwa sebagai orang beriman tentu harus diuji keberimanan ini. Bahkan kita juga memahami bahwa Allah tidak akan memberikan beban, ujian, amanah di luar batas kemampuan makhluk-Nya. Namun betapa sering kita mengeluh, menangis, merasa keberatan dengan semua ujian hidup ini. Kita juga merasa putus asa karena Allah belum juga mengakhiri cobaan dan penderitaan hidup ini. Lalu kita merasa bahwa hanya kita yang mendapatkan ujian begitu berat. duh Saudaraku, begitu tamakkah kita Tahukah saudaraku, bahwa dengan begitu berarti kita telah membenci ketentuan (qadha’) Allah, tidak suka kepada nikmat-Nya yang telah dibagikan di antara para hamba-Nya, dan tidak mau menerima keadilanNya yang ditegakkan-Nya dalam kerajaan-Nya dengan kebijaksanaan-Nya yang tersembunyi bagi kita, kemudian kita mengingkari dan menganggap buruk hal tersebut. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Senin, Juli 21, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar