Selasa, Mei 12, 2009

Belajar dari Pola Pengasuhan Anak di Jepang

Di sebuah shopping arcade di pusat kota Kyoto , saat sedang menikmati
segelas cappucino sambil mengamati orang berbelanja, tiba-tiba saya
dikejutkan suara keras tangisan anak kecil. Rupanya ada gadis kecil berumur
4 tahunan tersandung dan jatuh. Lututnya berdarah. Kami heran ketika melihat
respons ibunya yang hanya berdiri sambil mengulurkan tangan ke arah gadis
kecilnya tanpa ada kemauan untuk segera meraih anaknya. Cukup lama. Beberapa
menit adegan ini berlangsung. Si ibu tetap sabar dan keras hati untuk
menunggu anaknya menyelesaikan sendiri rasa shock dan sakitnya. Setelah
beberapa menit berlalu, akhirnya si gadis kecil mulai berusaha berdiri lagi,
dan dengan bantuan kecil tangan ibunya dia kembali berdiri. Masih sambil
terisak-isak ia pun berjalan lagi.

Dalam benak saya waktu itu, kok tak punya hati ibu si gadis kecil ini? Tega
membiarkan anaknya dalam kondisi kesakitan. Ingatan langsung terbang ke
Indonesia . Jika kejadian yang sama terjadi di Kota Jakarta ataupun
Yogyakarta , saya yakin si ibu pasti akan langsung meraih dan menggendong
untuk menenangkan anaknya.

Dari adegan itu, bisa kita bayangkan perbedaan cara pengasuhan anak Jepang
dan anak Indonesia . Dari pengamatan saya selama hampir setahun tinggal di
Jepang, anak Jepang cenderung dibiasakan dari kecil untuk mengatasi berbagai
kesulitan sendiri, sementara anak Indonesia selalu disediakan asisten untuk
mengatasi kesulitannya. Babysitter atau pembantu rumah tangga pun tidak ada
dalam kebiasaan keluarga-keluarga di Jepang. Sebaliknya di Indonesia,
khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta , Bandung , Yogyakarta dan
lain-lain kehadiran mereka wajib ada sebagai asisten keluarga maupun sebagai
asisten anak-anaknya.

Dalam sebuah studi perbandingan yang dilakukan oleh Heine, Takata dan Lehman
pada tahun 2000 yang melibatkan responden dari mahasiswa Jepang dan
mahasiswa Kanada dinyatakan bahwa mahasiswa Jepang lebih tidak peduli dengan
inteligensi dibandingkan orang Kanada. Hal ini disebabkan orang Jepang lebih
menghargai prestasi didasarkan pada usaha keras daripada berdasarkan
kemampuan inteligensi. Artinya, bagi orang Jepang kemauan untuk menderita
dan berusaha keras menjadi nilai yang lebih penting daripada kemampuan dasar
manusia seperti inteligensi.

Dalam keseharian dengan mudah kita dapat menyaksikan mereka selalu berjalan
dalam ketergesaan karena takut kehilangan banyak waktu, disiplin dan selalu
bekerja keras. Suasana kompetitif dan kemauan untuk menjadi yang lebih baik
(yang terbaik) sangat menonjol. Studi ini juga menemukan bahwa orang Jepang
memiliki budaya kritik diri yang tinggi, mereka selalu mencari apa yang
masih kurang di dalam dirinya. Untuk kemudian mereka akan segera memperbaiki
diri.

Lain lagi Indonesia , yang saat ini terjebak dalam kesalahan umum di mana
hasil akhir menjadi segala-galanya. Hasil akhir lebih dihargai dibandingkan
usaha keras. Tengok saja kompetisi yang terjadi dari anak usia sekolah
tingkat SD hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan nilai kelulusan yang
tinggi. Guru, orang tua maupun masyarakat umum selalu menekan anak untuk
mendapatkan nilai kelulusan yang tinggi, sehingga mereka pun menghalalkan
segala cara. Kita baca di koran polisi menangkap para guru karena berlaku
curang dalam ujian nasional, sementara di tempat lain orang tua membeli soal
ujian, siswa menyontek dan lain sebagainya.

Pola pengasuhan ini, pada gilirannya pasti berperan besar dalam pembentukan
karakter anak dalam perkembangan berikutnya. Oleh karenanya, memberi
kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengembangkan semua potensinya
adalah satu prinsip dasar dari satu pola pengasuhan yang sangat baik bagi
pembentukan karakter anak. Orang tua, asisten, atau pun orang yang lebih
dewasa jangan mengambil alih tanggung jawab anak.

Sebagai contoh, beri kesempatan pada anak untuk belajar makan secara benar
dengan tangannya sendiri sejak dia mampu memegang sendok. Jangan diambil
alih hanya karena alasan akan membuat kotor. Atau beri kesempatan pada anak
untuk menghadapi dunia sekolah pertama kali tanpa banyak intervensi dari
pengasuh maupun orang tua. Memberi rasa aman pada anak memang penting jika
diberikan pada saat yang tepat. Tetapi menunggui anak selama dia belajar di
sekolah adalah pemberian rasa aman yang tidak perlu. Momen ini adalah momen
penting bagi anak untuk belajar menghadapi dunia di luar rumah tanpa bantuan
langsung orang-orang di sekitarnya.

Pengalaman anak merasa mampu menghadapi persoalan dengan kemampuannya
sendiri akan menumbuhkan kepercayaan diri. Oleh karena itu, orang tua
sebaiknya membatasi diri hanya menjadi partner diskusi yang membantu anak
menemukan berbagai kemungkinan solusi. Orang tua kadang harus berteguh hati
membiarkan anak mengalami rasa sakit, menderita, dan rasa tertekan dalam isi
dan porsi yang tepat, karena hal itu akan sangat baik untuk perkembangan
mental anak.

Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan hidup dan
tidak mudah menyerah. Hargai anak bukan dari hasil akhirnya melainkan dari
proses perjuangannya. Anak perlu diberi pembelajaran (dan juga orang tua
perlu belajar) untuk bisa menikmati dan menghargai proses, meskipun proses
seringkali tidak nyaman.


Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta

Tidak ada komentar: