Bangunan itu tampak lusuh, cat yang memudar dan lumut menyelimuti dinding tuanya. Di sekelilingnya, semak belukar laksana taman bunga yang indah bermekaran. Lirih rintihan tangis, tawa yang sumbang bahkan teriakan menyayat perasaan kadang terdengar hingga kejauhan. Pedih dan tampak suram, menyiratkan perasaan muram penghuninya.
Nanar, dan mata yang menerawang menjadi pemandangan biasa. Tersisih dari regukan kasih sayang, lalu teronggok lemah dalam belenggu kerinduan yang menguliti renta jiwanya. Merenung dan melamun seakan menjadi rutinitas harian, mengingat masa lalu saat meretas masa depan buah hati tercinta.
Tanpa sadar, telaga tua itu berkaca-kaca hingga menimbulkan riak gelombang, jatuh menetes membasahi guratan keriput di wajah. Perlahan, lirih teralun senandung Dodoi Si Dodoi, ... Tidurlah anak tidurlah manja / Tidurlah anak tidurlah sayang / Pejamkan mata mu sayang / Jangan menangis oh intan / Ibu dodoikan hai sayang / Tidurlah intan... seraya tangan bagaikan menggendong buaian.
Tubuh-tubuh sepuh itupun lalu beringsut perlahan menghampiri jendela, berharap leluasa menatap ke jalan. Tak ada yang dinantikan selain kunjungan anak, keluarga atau saudara yang membawa seikat bunga kasih sayang. Saat fajar menggelepar keluar dari peraduan, hingga menghantar kerinduan rembulan yang ingin bercengkerama dengan burung malam, tak satu jua dapat mengusiknya. Lalu mereka pun terlelap dalam rengkuhan kesepian dan kepedihan.
Saudaraku yang kucinta karena Allah,
Menjadi tua pastilah menyapa setiap manusia, termasuk kedua orangtua kita. Saat lanjut usia, perhatian dan kasih sayang kita bagai embun yang akan menelisik lembut, membasahi rongga jiwa mereka. Cinta yang teruntai dari sikap dan kata-kata pun lebih bernilai harganya dari uang serta harta benda. Namun, cepatnya putaran dunia seakan mengasingkan keberadaan kita dengan mereka, hingga Panti Wreda menjadi pilihan saat pikun dan lamban mulai menjangkiti usia senja.
Malu karena pikun dan takut menodai kehormatan keluarga, kadang menjadi alasan pengasingan di usia renta, seakan diri ini hina memiliki orangtua seperti mereka. Padahal hina itu justru saat kita menepiskan mereka di hari tuanya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda, "Semoga terhina, semoga terhina, semoga terhina, orang yang mendapati kedua orangtuanya telah tua, salah satu atau keduanya, tapi dia tidak bisa masuk surga karena keduanya." (HR. Muslim nomor 2551)
Ingatkah kita bahwa Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, jika keluar dari rumahnya selalu berhenti di depan pintu ibunya sambil berkata, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku!" Dan ibunya menjawab, "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, wahai anakku!" Abu Hurairah lalu berkata, "Semoga Allah menyayangimu sebagaimana engkau telah mendidikku di waktu kecil." Maka ibunya berkata, "Semoga Allah juga menyayangimu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepadaku di masa tuaku."
Sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash radliyallahu 'anhu pun pernah bercerita, seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan kemudian berkata, "Aku datang berbaiat kepadamu untuk hijrah, dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis." Mendengar hal itu, Nabi bersabda, "Kembalilah engkau kepada mereka, buatlah keduanya tertawa sebagaimana sebelumnya engkau telah membuatnya menangis." (HR. Abu Dawud nomor 2528 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud nomor 2205)
Duhai jiwa...
Mengapa kau sia-siakan dan lupakan mereka?
Kau dahulukan berbuat baik kepada yang lain dari keduanya
Tidakkah engkau sadar, orang yang berbuat baik kepada orangtuanya nanti akan ditaati pula oleh anak-anaknya?
Kalau kau mendurhakai orangtua, kelak anak-anak pun akan durhaka kepadamu
Tidakkah engkau takut mereka akan memperlakukanmu sebagaimana perlakuanmu kepada orangtuamu?
Sebagaimana engkau bersikap, demikian juga engkau nanti akan disikapi anak-anakmu
Tua, sepuh hingga pikun di kala renta, bukankah itu pasti terjadi pada semua manusia?
Lalu mengapa kehormatan dan harga diri ini lebih berharga dari kasih sayangnya kepada kita?
Ya akhi wa ukhti...
Jangan biarkan pemilik telaga tua itu selalu menanti kehadiranmu
Jangan biarkan pula riak gelombang tersirat di telaga tuanya
Datanglah dengan kasih sayang dan perhatian serta cinta
Sungguh, mereka tak butuh apa-apa
Hanya itu...
Wallahua'lam bi showab.
(Author: Abu Aufa)
Rabu, Juli 01, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar